ilustrasi hypernormalisation

Hypernormalisation: Realitas Palsu (Kebohongan) yang Dinormalisasi

Hypernormalisation adalah istilah yang merujuk pada kondisi ketika kebohongan atau ketidakwajaran yang jelas dalam sistem sosial, politik, atau ekonomi justru dianggap normal karena terus-menerus terjadi dan diterima oleh masyarakat. Konsep ini dipopulerkan oleh sutradara dokumenter asal Inggris, Adam Curtis, dalam film dokumenternya berjudul “HyperNormalisation” yang dirilis oleh BBC pada tahun 2016.

Istilah ini awalnya digunakan oleh penulis dan antropolog Rusia, Alexei Yurchak, dalam bukunya “Everything Was Forever, Until It Was No More” (2006), untuk menggambarkan kondisi di Uni Soviet sebelum runtuh: semua orang tahu sistem itu tidak bekerja, tetapi semua orang berpura-pura bahwa semuanya berjalan normal.

Intinya, Hypernormalisation adalah ketika masyarakat hidup dalam kebohongan kolektif, tahu bahwa itu palsu, tapi tidak tahu harus berbuat apa.

Asal Usul Konsep Hypernormalisation

Kata “hypernormalisation” berasal dari analisis terhadap era akhir Uni Soviet, di mana sistem komunis telah kehilangan kredibilitas, tetapi tetap dipertahankan secara formal. Masyarakat tahu bahwa sistem tersebut tidak masuk akal, namun tetap bertingkah seolah-olah semuanya wajar dan benar.

Adam Curtis memperluas konsep ini untuk menggambarkan kondisi dunia Barat modern, terutama setelah tahun 1970-an. Ia menunjukkan bahwa elit politik, korporat, dan media menciptakan narasi palsu yang disederhanakan, agar masyarakat tetap merasa stabil, meski kenyataan semakin kompleks dan tidak terkendali.

Ciri-Ciri Hypernormalisation dalam Kehidupan Modern

1. Kebijakan dan Narasi Palsu Diterima Sebagai Fakta

Contoh: Pemerintah mengatakan ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali, padahal masyarakat mengalami krisis biaya hidup. Masyarakat tahu kenyataannya berbeda, tapi tetap menerima karena tidak ada alternatif narasi yang kuat.

2. Ketidakberdayaan Kolektif

Meski sadar bahwa sistem rusak (korupsi, manipulasi data, politik uang), masyarakat merasa tidak bisa mengubah apa pun dan akhirnya apatis.

3. Skenario Disederhanakan

Narasi dalam politik atau media sering dibuat “hitam-putih”—misalnya, Barat vs Timur, baik vs jahat—meskipun kenyataan jauh lebih kompleks. Hal ini untuk menjaga “ilusi kontrol”.

4. Panggung Palsu di Media Sosial

Banyak figur publik, influencer, atau bahkan pemerintah membangun citra di media sosial yang tidak merepresentasikan kenyataan, namun diterima begitu saja oleh publik karena sudah terlalu umum.

5. Tindakan Simbolik Tanpa Dampak Nyata

Sering terjadi di politik: pernyataan, peraturan, atau pertemuan yang tampak penting, tetapi tidak menyelesaikan masalah substantif.

Contoh Nyata Hypernormalisation di Dunia Saat Ini

1. Politik Global

Setelah Perang Dingin, AS dan sekutunya mencoba menciptakan tatanan dunia baru. Namun, banyak kebijakan luar negeri justru memicu kekacauan (misalnya di Timur Tengah). Meski kegagalan nyata, narasi “demokrasi dan perdamaian global” tetap dijaga oleh media dan elit politik.

2. Krisis Lingkungan dan Greenwashing

Perusahaan besar berbicara soal “keberlanjutan” dan “transisi hijau,” tetapi tetap menjalankan praktik eksploitasi alam secara masif. Masyarakat tahu itu kontradiktif, tapi narasi “ramah lingkungan” tetap dipercaya.

3. Media Sosial dan Dunia Virtual

Kehidupan di media sosial penuh ilusi kebahagiaan, sukses, dan kesempurnaan. Semua orang tahu itu palsu, tapi tetap berpartisipasi karena takut tertinggal (FOMO).

4. Sistem Pendidikan

Sekolah dan universitas sering mengajarkan teori yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan dunia nyata. Tapi sistem tetap dipertahankan karena “begitulah seharusnya.”

5. Pasar Finansial dan Ekonomi

Bubble aset, utang negara, dan pencetakan uang masif dianggap “solusi modern”. Padahal banyak ekonom tahu itu tidak berkelanjutan. Tapi sistem tetap dijalankan karena tidak ada jalan keluar yang dianggap “realistis”.

Mengapa Hypernormalisation Bisa Terjadi?

1. Kebutuhan Akan Stabilitas Psikologis

Manusia ingin merasa hidup di dunia yang teratur dan bisa diprediksi. Ketika sistem tampak hancur, lebih mudah berpura-pura semuanya baik-baik saja, daripada menghadapi kekacauan dan ketidakpastian.

2. Ketergantungan pada Elit dan Institusi

Masyarakat menyerahkan kendali kepada elit (politik, ekonomi, teknologi) dan mempercayai narasi yang mereka bangun, meski terkadang sadar itu tidak realistis.

3. Kompleksitas Dunia Modern

Banyak isu global (perubahan iklim, krisis geopolitik, disinformasi) terlalu rumit untuk dipahami masyarakat umum. Akhirnya, mereka menerima penjelasan sederhana dari media atau politisi.

4. Kelelahan Kolektif

Berita buruk, skandal politik, dan ketidakpastian terus-menerus membuat masyarakat lelah dan akhirnya menjadi pasif, bahkan sinis.

Apa Dampak dari Hypernormalisation?

1. Apatisme dan Sinisme

Orang kehilangan kepercayaan pada institusi, merasa suara mereka tidak penting, dan memilih diam.

2. Polarisasi dan Disinformasi

Karena kebenaran sulit ditemukan, orang mulai mencari alternatif—termasuk teori konspirasi. Ini memperparah polarisasi sosial.

3. Disfungsi Sosial dan Politik

Pemerintahan tetap berjalan, tapi kehilangan arah. Kebijakan jadi simbolik, bukan solutif. Pemilu jadi ajang pertunjukan, bukan perubahan nyata.

4. Krisis Makna dan Tujuan Hidup

Masyarakat modern hidup dalam dunia yang “tampak benar tapi kosong”. Ini memicu kecemasan eksistensial dan meningkatnya masalah kesehatan mental.

Apakah Kita Bisa Keluar dari Hypernormalisation?

Ya, tetapi tidak mudah. Diperlukan kesadaran kolektif dan keberanian untuk melihat kenyataan apa adanya. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Membangun Kesadaran Kritis

Belajar membedakan antara realitas dan narasi. Bertanya: “Siapa yang diuntungkan dari cerita ini?”

2. Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas

Menuntut institusi politik, media, dan korporasi untuk tidak hanya simbolik, tetapi benar-benar bertanggung jawab.

3. Perkuat Komunitas dan Aksi Lokal

Perubahan besar sulit, tapi perubahan lokal bisa berdampak. Komunitas kecil bisa menciptakan narasi dan sistem alternatif yang lebih jujur dan berkelanjutan.

4. Hidup Lebih Otentik dan Sadar

Kurangi konsumsi narasi palsu, baik dari media mainstream maupun media sosial. Bangun hidup yang lebih nyata, bukan sekadar “terlihat”.

5. Berani Bertanya dan Meragukan

Jangan anggap sesuatu benar hanya karena “semua orang percaya” atau “sudah biasa”. Kebiasaan tidak selalu mencerminkan kebenaran.

Kesimpulan

Hypernormalisation adalah fenomena ketika masyarakat hidup dalam kebohongan kolektif yang sudah dianggap terlalu biasa untuk dipertanyakan. Meskipun kita sadar bahwa sistem di sekitar kita banyak yang tidak bekerja sebagaimana mestinya, kita tetap menerimanya karena merasa tidak punya pilihan.

Namun, dengan kesadaran, pendidikan kritis, dan keberanian untuk membangun sistem baru—di level personal maupun komunitas—kita bisa keluar dari jebakan realitas palsu ini. Dunia yang lebih jujur, adil, dan bermakna mungkin memang sulit diwujudkan, tapi bukan tidak mungkin.

Leave a Comment

Scroll to Top