Hedonic Treadmill atau dikenal juga sebagai Hedonic Adaptation, adalah istilah dalam psikologi yang menggambarkan kecenderungan manusia untuk kembali ke tingkat kebahagiaan yang relatif stabil meskipun mengalami peristiwa besar dalam hidup, baik yang menyenangkan maupun menyedihkan.
Artinya, setelah seseorang mendapatkan promosi kerja, membeli rumah impian, atau menikah, rasa bahagia memang muncul—tapi hanya sementara. Setelah beberapa waktu, individu akan kembali ke tingkat kebahagiaan sebelumnya, seolah berlari di atas treadmill: terus bergerak, tapi tidak benar-benar maju.
Asal Usul Istilah Hedonic Treadmill
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Philip Brickman dan Donald T. Campbell pada tahun 1971. Dalam artikelnya, mereka mengamati bahwa manusia cepat beradaptasi terhadap perubahan besar, dan bahwa peningkatan kondisi hidup tidak menghasilkan peningkatan kebahagiaan jangka panjang.
Istilah “treadmill” digunakan sebagai metafora: seperti orang yang berlari di treadmill, mereka terlihat aktif bergerak, namun tetap berada di tempat yang sama. Sama halnya dengan manusia yang terus mengejar kesenangan, tapi tingkat kebahagiaannya cenderung stagnan.
Contoh Nyata Hedonic Treadmill
Berikut beberapa contoh nyata dari fenomena hedonic adaptation dalam kehidupan sehari-hari:
1. Naik Gaji
Banyak orang merasa bahwa naik gaji akan membawa kebahagiaan yang lebih besar. Dan memang benar—untuk sementara waktu. Namun, setelah beberapa bulan, gaya hidup meningkat, ekspektasi naik, dan kebahagiaan kembali ke level semula.
Misalnya, dari gaji Rp5 juta ke Rp10 juta. Awalnya merasa puas. Namun setelah terbiasa, muncul keinginan beli mobil baru, liburan lebih mahal, dan akhirnya tetap merasa “kurang”.
2. Membeli Barang Mewah
Kepemilikan mobil, gadget terbaru, atau rumah besar memang menimbulkan euforia sesaat. Tapi efek kebahagiaan dari barang baru ini cepat menghilang, dan kita kembali ingin barang yang lebih mahal.
3. Menikah atau Dapat Pasangan
Studi menunjukkan bahwa pernikahan meningkatkan kebahagiaan dalam jangka pendek. Tapi dalam waktu dua tahun, kebanyakan pasangan kembali pada tingkat kebahagiaan seperti sebelum menikah.
4. Mengalami Tragedi
Hal ini juga berlaku untuk kejadian buruk. Orang yang kehilangan pekerjaan, kecelakaan, atau perceraian, umumnya mengalami penurunan kebahagiaan. Tapi dalam jangka menengah, mereka perlahan kembali ke baseline emosional mereka.
Mengapa Hedonic Treadmill Terjadi?
Ada beberapa penjelasan psikologis dan biologis mengapa fenomena ini terjadi:
1. Adaptasi Biologis
Otak manusia dirancang untuk beradaptasi. Ini berguna untuk bertahan hidup, tetapi juga membuat kita cepat terbiasa terhadap hal-hal baru—termasuk pencapaian dan kekayaan.
2. Perbandingan Sosial
Kita cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Bahkan setelah sukses, kita akan mencari tolok ukur baru yang lebih tinggi. Ini membuat kita terus mengejar lebih, tanpa merasa puas.
3. Naiknya Ekspektasi
Begitu standar hidup meningkat, ekspektasi juga ikut naik. Sesuatu yang dulu terasa istimewa, kini dianggap biasa. Kita mulai merasa butuh lebih banyak hanya untuk merasa “cukup”.
Hedonic Treadmill dan Kehidupan Modern
Di era digital, fenomena ini semakin terasa. Media sosial mempercepat perbandingan sosial dan memperkuat keinginan untuk konsumsi berlebih.
1. Budaya Konsumerisme
Kita hidup dalam budaya yang mendorong konsumsi tanpa henti. Brand, iklan, dan influencer terus menanamkan ide bahwa kita “butuh” hal baru untuk bahagia.
2. FOMO (Fear of Missing Out)
Media sosial memicu kecemasan jika tidak ikut tren, tidak jalan-jalan, atau tidak punya gadget terbaru. Akibatnya, kita merasa harus selalu mengejar sesuatu agar merasa bahagia.
3. Instant Gratification
Kebahagiaan instan semakin mudah didapat, tapi efeknya semakin cepat menghilang. Ini membuat orang terus mencari stimulus baru, tetapi tak pernah benar-benar puas.
Dampak Negatif Hedonic Treadmill
Jika tidak disadari, hedonic treadmill dapat membawa berbagai konsekuensi negatif, seperti:
- Kecanduan belanja dan konsumsi berlebih
- Stres finansial akibat gaya hidup yang tidak seimbang
- Kekecewaan kronis, karena harapan tak pernah benar-benar terpenuhi
- Rasa kosong, meski secara materi terlihat “berhasil”
Cara Mengatasi Hedonic Treadmill
Meski fenomena ini alami, bukan berarti tak bisa diatasi. Berikut beberapa cara efektif untuk keluar dari jerat treadmill kebahagiaan:
1. Praktik Bersyukur (Gratitude Practice)
Bersyukur membuat kita fokus pada apa yang dimiliki, bukan apa yang kurang. Ini mengurangi keinginan konstan untuk mencari hal baru.
2. Hidup Minimalis
Dengan mengurangi konsumsi yang tidak penting, kita belajar merasa cukup. Minimalisme mendorong untuk menemukan kebahagiaan dari hal-hal esensial.
3. Fokus pada Pengalaman, Bukan Barang
Studi menunjukkan bahwa pengalaman (seperti traveling, quality time dengan keluarga) memberikan kebahagiaan jangka panjang dibanding barang.
4. Latih Mindfulness
Mindfulness membantu kita menikmati saat ini tanpa terus mengejar hal eksternal. Ini memperlambat siklus adaptasi dan meningkatkan kesadaran emosional.
5. Bangun Relasi yang Bermakna
Kebahagiaan sejati banyak berasal dari hubungan yang sehat dan bermakna, bukan dari pencapaian materi.
6. Tetapkan Tujuan Berdasarkan Nilai, Bukan Ego
Tujuan yang selaras dengan nilai hidup (bukan sekadar gengsi) memberikan makna dan kebahagiaan yang lebih tahan lama.
Hedonic Treadmill dalam Konteks Ekonomi dan Karier
Konsep ini juga relevan dalam dunia kerja dan ekonomi:
- Karier: Banyak profesional merasa terjebak dalam siklus mengejar jabatan atau gaji, tapi tetap merasa tidak puas.
- Ekonomi makro: Konsumsi yang terus meningkat tidak otomatis meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa. Hal ini juga berkaitan dengan Easterlin Paradox, yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu meningkatkan kebahagiaan.
Kesimpulan
Hedonic Treadmill adalah kenyataan psikologis yang sering tak kita sadari: bahwa manusia cepat beradaptasi terhadap hal-hal baru, baik positif maupun negatif. Akibatnya, kebahagiaan dari pencapaian, harta, atau status sosial hanya bersifat sementara.
Memahami konsep ini membantu kita untuk lebih bijak dalam mengejar kebahagiaan. Alih-alih terus berlari mengejar hal eksternal, kita bisa belajar menemukan kedamaian dari dalam—melalui rasa syukur, mindfulness, relasi yang sehat, dan hidup berdasarkan nilai.
Kita boleh saja bermimpi sesuka hati tentang kehidupan masa depan yang kita harapkan, namun saat kita mencapainya, akankah kita sanggup mengagumi semua yang telah kita capai? Atau kita justru akan terlalu sibuk melihat rumput tetangga yang lebih hijau?