Angka Kemiskinan di Indonesia 8,47% (BPS) vs. 68,3% (Bank Dunia): Mengapa Berbeda?

Banyak masyarakat bingung ketika mendengar dua angka kemiskinan Indonesia yang sangat berbeda: 8,47% menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan 68,3% menurut Bank Dunia (World Bank). Padahal, keduanya berasal dari metode pengukuran yang berbeda tujuan dan berbeda standar.

Artikel ini akan membahas secara komprehensif mengapa perbedaan itu muncul, apa arti dari masing-masing angka, serta implikasinya bagi kebijakan dan kehidupan masyarakat.

Angka Kemiskinan Menurut BPS (Nasional)

BPS merilis data kemiskinan nasional Maret 2025 dengan angka 8,47% penduduk Indonesia atau sekitar 23,2 juta orang. Angka ini turun dari 8,57% pada September 2024.

Metode BPS: Cost of Basic Needs (CBN)

BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar:

  • Komponen makanan: minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, berasal dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayuran.
  • Komponen non-makanan: kebutuhan dasar untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan dihitung dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang dilakukan dua kali setahun:

  • Maret 2024: 345.000 rumah tangga
  • September 2024: 76.310 rumah tangga

Contoh Garis Kemiskinan September 2024

  • Nasional: Rp 595.242/orang/bulan
  • Rata-rata rumah tangga miskin (4,71 orang): Rp 2,80 juta/keluarga/bulan
  • DKI Jakarta: Rp 4,23 juta/keluarga/bulan
  • NTT: Rp 3,10 juta/keluarga/bulan

Fungsi angka ini: Menentukan siapa yang berhak menerima program bantuan sosial dan mengevaluasi efektivitas kebijakan nasional.

Angka Kemiskinan Menurut Bank Dunia (Global)

Menurut pembaruan Poverty and Inequality Platform (PIP) edisi Juni 2025, Bank Dunia mencatat 68,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan untuk kategori Upper-Middle Income Country (UMIC).

Metode Bank Dunia: Purchasing Power Parity (PPP)

Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan global yang disesuaikan dengan paritas daya beli (PPP). PPP menghitung nilai uang berdasarkan daya beli riil, bukan kurs pasar.

Dalam revisi 2025, standar garis kemiskinan untuk UMIC naik dari:

  • US$ 6,85 PPP (2017)US$ 8,30 PPP (2021)

Konversi ke rupiah (PPP 2024):

  • US$ 1 PPP = Rp 5.993
  • US$ 8,30 PPP/hari ≈ Rp 1,51 juta/orang/bulan
  • Untuk keluarga 4 orang ≈ Rp 6,05 juta/bulan sebagai ambang “tidak miskin” versi global.

Mengapa Angkanya Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia Jauh Berbeda?

Perbedaan ini wajar karena tujuan dan tolok ukur berbeda:

Aspek BPS (Nasional) Bank Dunia (Global)
Tujuan Mengukur kemiskinan di Indonesia untuk kebijakan dan bansos Membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara
Metode CBN: kebutuhan dasar makanan & non-makanan PPP: standar global disesuaikan daya beli
Ambang ± Rp 595 ribu/orang/bulan (nasional rata-rata) ± Rp 1,51 juta/orang/bulan (UMIC, PPP 2021)
Hasil 2025 8,47% penduduk 68,3% penduduk

Intinya:

  • BPS menyesuaikan standar dengan kondisi harga dan pola konsumsi di Indonesia.
  • Bank Dunia menetapkan standar global yang lebih tinggi untuk mengukur kesenjangan standar hidup antarnegara.

Implikasi bagi Kebijakan dan Masyarakat

  1. Untuk pemerintah Indonesia: Angka BPS relevan untuk penargetan bantuan sosial, tapi angka Bank Dunia menunjukkan bahwa meskipun banyak orang tidak tergolong “miskin” versi nasional, mereka masih hidup pas-pasan menurut standar global.
  2. Untuk masyarakat dan investor: Data Bank Dunia bisa menjadi cermin bahwa potensi pasar konsumen kelas menengah Indonesia mungkin belum sekuat yang terlihat jika diukur dengan standar global.
  3. Untuk advokasi sosial: Angka global membantu menyoroti isu ketimpangan dan kualitas hidup, bukan hanya kemampuan bertahan hidup.

Kesimpulan

Perbedaan angka kemiskinan 8,47% (BPS) dan 68,3% (Bank Dunia) bukan kesalahan data, tetapi akibat dari perbedaan standar ukur. BPS mengukur kemiskinan absolut di Indonesia, sedangkan Bank Dunia membandingkan daya beli masyarakat Indonesia dengan standar negara lain di kelompok pendapatan menengah atas.

Pesan penting: Seseorang bisa saja tidak masuk kategori “miskin” versi BPS, namun tetap belum mencapai standar hidup layak versi global. Memahami dua ukuran ini memberi gambaran lebih utuh tentang tantangan kesejahteraan di Indonesia.

Leave a Comment

Scroll to Top