ilustrasi return retrospektif

Jangan Menghitung Return Investasi Secara Retrospektif

Salah satu kesalahan paling umum dalam dunia investasi, baik di pasar saham maupun crypto, adalah menghitung return secara retrospektif. Banyak investor pemula–bahkan yang sudah cukup berpengalaman kerap terjebak pada asumsi bahwa return masa lalu adalah cerminan masa depan. Sayangnya, pendekatan seperti ini bisa menyesatkan dan merugikan. 

Dalam artikel ini, kita akan membedah mengapa menghitung return berdasarkan retrospektif adalah jebakan berpikir, apa dampaknya, serta pendekatan yang lebih sehat dan berbasis keilmuan untuk menilai potensi investasi.

Apa Itu Return Retrospektif?

Return retrospektif adalah tingkat pengembalian investasi yang dihitung berdasarkan performa masa lalu. Contohnya:

  • Seorang investor melihat bahwa saham XYZ naik 300% dalam 3 tahun terakhir.
  • Berdasarkan angka itu, ia mengasumsikan potensi return ke depan akan sama atau bahkan lebih tinggi.
  • Ia menginvestasikan dana besar dengan ekspektasi berlebihan, tanpa mempertimbangkan konteks pasar saat ini.

Ini adalah pendekatan yang sangat spekulatif dan bias secara kognitif, karena tidak mempertimbangkan banyak variabel penting dalam analisis prospektif.

Mengapa Mengandalkan Return Masa Lalu Berbahaya?

1. Pasar Bersifat Dinamis, Bukan Statik

Seperti yang dijelaskan oleh Burton Malkiel dalam bukunya “A Random Walk Down Wall Street”, pergerakan harga saham atau aset tidak selalu mengikuti pola tetap. Pasar bersifat efisien, artinya harga saat ini sudah mencerminkan seluruh informasi yang tersedia. Mengandalkan data historis tanpa mempertimbangkan perubahan struktur pasar bisa berujung pada keputusan investasi yang keliru.

Data dari SPIVA (S&P Indices Versus Active) menunjukkan bahwa lebih dari 85% manajer investasi aktif di AS gagal mengalahkan indeks acuan dalam jangka panjang. Kenapa? Karena terlalu banyak yang mengandalkan “momentum historis” tanpa memperhitungkan kondisi pasar yang berubah.

2. Survivorship Bias: Hanya Melihat yang Sukses

Banyak investor hanya melihat aset yang mengalami lonjakan besar di masa lalu – seperti Bitcoin, Tesla, atau saham teknologi lainnya. Padahal, ribuan aset lainnya gagal, stagnan, atau bangkrut. Ini disebut survivorship bias, yakni hanya fokus pada aset yang “selamat” dan sukses, lalu menggeneralisasikan peluangnya.

3. Return Masa Lalu Tidak Memperhitungkan Risiko

Return historis sering kali tidak memperhitungkan volatilitas dan drawdown. Sebuah aset bisa naik 300% dalam dua tahun, tetapi sempat turun 80% dalam waktu singkat. Tanpa memahami risk-adjusted return seperti Sharpe ratio atau max drawdown, investor akan mengejar imbal hasil semu yang tidak berkelanjutan.

Contoh Nyata: Saham & Crypto

Saham: Amazon dan Era Dotcom

Amazon (AMZN) memang menjadi superstar saham sejak IPO-nya. Namun setelah gelembung dotcom pecah pada tahun 2000, saham Amazon turun lebih dari 90%. Jika Anda hanya melihat return retrospektif dari 1997–1999, Anda mungkin akan berpikir bahwa Amazon adalah “safe bet”, padahal risikonya sangat tinggi.

Crypto: Dogecoin dan Efek FOMO

Pada awal 2021, Dogecoin melonjak lebih dari 10.000% dalam beberapa bulan. Investor yang hanya melihat data ini mungkin mengira return serupa akan berlanjut. Namun, pada pertengahan 2022, Dogecoin telah turun lebih dari 90% dari puncaknya. Return retrospektif menyesatkan tanpa memperhitungkan fundamental dan sentimen pasar.

Pendekatan yang Lebih Sehat: Return Prospektif

Berikut adalah pendekatan yang lebih sehat dan berbasis keilmuan untuk memperkirakan potensi return investasi:

1. Valuasi Forward-Looking

Gunakan rasio valuasi berbasis proyeksi, seperti:

Ini memberikan gambaran tentang potensi kinerja berdasarkan asumsi realistis, bukan sejarah.

2. Risk-Adjusted Metrics

Ukurlah potensi return dengan memperhatikan risiko:

  • Sharpe Ratio: seberapa besar return dibanding risiko volatilitas.
  • Sortino Ratio: menghitung downside risk.
  • Max Drawdown: untuk mengetahui potensi kerugian maksimum.

3. Diversifikasi & Asset Allocation

Daripada mengejar return masa lalu dari satu aset, lebih baik diversifikasi berdasarkan:

Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates, menyebut diversifikasi sebagai “free lunch” dalam investasi karena bisa mengurangi risiko tanpa mengorbankan return terlalu banyak.

Ilmu Keuangan Modern: Efisiensi & Ekspektasi

Dalam teori portofolio modern (Modern Portfolio Theory – MPT) oleh Harry Markowitz, ekspektasi return dihitung berdasarkan expected mean dan covariance matrix, bukan hasil historis semata. Model Capital Asset Pricing Model (CAPM) juga menghitung return ekspektasi berdasarkan beta (risiko sistematis) dan risk-free rate, bukan kinerja masa lalu.

Kesimpulan: Retrospektif Adalah Ilusi

Menghitung return berdasarkan data masa lalu tanpa mempertimbangkan risiko, valuasi, atau dinamika pasar adalah praktik yang menyesatkan. Dunia investasi membutuhkan pendekatan yang berbasis prospektif – melihat ke depan, bukan ke belakang.

Prinsip bijak: Jangan berinvestasi karena “sudah terbukti naik”, tapi karena memiliki potensi naik berdasarkan analisis yang rasional.

Leave a Comment

Scroll to Top