ilustrasi sunk cost fallacy

Sunk Cost Fallacy: Ketika Merasa Rugi Meninggalkan Keputusan yang Buruk

Sunk Cost Fallacy adalah kesalahan berpikir di mana seseorang terus mempertahankan keputusan buruk hanya karena sudah menginvestasikan waktu, uang, tenaga, atau emosi ke dalamnya, meskipun jelas bahwa melanjutkan akan merugikan lebih jauh.

Dalam ekonomi, sunk cost adalah biaya yang sudah dikeluarkan dan tidak bisa dikembalikan. Secara rasional, sunk cost tidak seharusnya memengaruhi keputusan masa depan. Namun secara psikologis, manusia cenderung sulit “melepaskan” sesuatu yang telah membuat mereka merasa terikat.

Contoh klasik: Anda sudah menonton 1 jam film yang membosankan, tapi tetap menontonnya sampai habis karena “sudah bayar tiket bioskop.”

Mengapa Sunk Cost Fallacy Berbahaya?

Dalam behavioral economics, sunk cost fallacy dapat berdampak buruk, misalnya:

  • Menunda mengambil keputusan bijak karena takut rugi dua kali.
  • Tetap bertahan dalam proyek, hubungan, atau pekerjaan yang tidak sehat hanya karena sudah terlalu jauh.
  • Mengabaikan peluang baru demi mempertahankan sesuatu yang tidak lagi relevan.

Kesalahan ini sering kali menyebabkan kerugian yang lebih besar dalam jangka panjang.

Contoh Sunk Cost Fallacy dalam Kehidupan Sehari-Hari

1. Hubungan yang Tidak Sehat

Seseorang bertahan dalam hubungan yang toxic karena sudah pacaran selama 5 tahun. Padahal, kualitas relasi makin menurun. Kalimat seperti, “Sayang kalau putus, sudah sejauh ini,” adalah bentuk sunk cost fallacy.

2. Karier yang Tidak Diminati

Orang yang tetap bekerja di bidang yang tidak ia sukai atau kuliah di jurusan yang tidak cocok hanya karena sudah “telanjur kuliah 3 tahun.” Akibatnya, produktivitas dan kebahagiaan menurun drastis.

3. Proyek Bisnis yang Gagal

Pebisnis tetap mengucurkan dana ke proyek yang jelas-jelas merugi hanya karena “sudah investasi besar dari awal.” Padahal menutup atau pivot mungkin solusi terbaik.

4. Makanan di Restoran

Kita sering merasa harus menghabiskan makanan yang tidak enak atau terlalu banyak karena “sayang sudah bayar.” Padahal, memakannya bisa membuat kita tidak nyaman atau malah sakit.

5. Menonton Acara atau Film yang Buruk

Tetap duduk menyaksikan acara yang membosankan karena “sudah setengah jalan,” meskipun waktu bisa digunakan untuk aktivitas yang lebih produktif.

Mengapa Kita Terjebak dalam Sunk Cost Fallacy?

1. Kecenderungan Psikologis untuk Konsistensi

Manusia ingin terlihat konsisten dengan keputusan sebelumnya. Mengakui kesalahan dianggap sebagai kegagalan, padahal justru sebaliknya—berani mengubah arah adalah bentuk kedewasaan.

2. Loss Aversion (Ketakutan Kehilangan)

Menurut teori prospek, manusia lebih takut rugi daripada semangat untuk untung. Sehingga, ketika sudah mengeluarkan sesuatu (uang, waktu, emosi), kita enggan “mengaku kalah”.

3. Overvaluing Effort (Melebih-lebihkan Usaha)

Orang cenderung menganggap semakin besar usahanya, maka semakin berharga sesuatu itu. Padahal, nilai sebenarnya tergantung pada manfaat saat ini dan ke depan, bukan masa lalu.

4. Ego dan Harga Diri

Mengakui bahwa suatu pilihan salah bisa terasa memalukan. Maka kita bertahan bukan karena rasional, tapi karena gengsi atau rasa malu.

Cara Menghindari Sunk Cost Fallacy

1. Fokus pada Masa Depan, Bukan Masa Lalu

Tanyakan: “Kalau saya baru mulai hari ini, apakah saya akan tetap memilih ini?” Jika jawabannya tidak, mungkin sudah saatnya berhenti.

2. Pisahkan Emosi dari Logika

Evaluasi situasi secara objektif. Jangan biarkan rasa bersalah, malu, atau sayang memengaruhi keputusan rasional Anda.

3. Berani Menerima Kerugian sebagai Pelajaran

Kerugian adalah bagian dari proses hidup dan bisnis. Daripada memperbesar kerugian, lebih baik mengakuinya dan mulai dari awal.

4. Gunakan Prinsip Opportunity Cost

Setiap pilihan punya “biaya peluang.” Bertahan di pilihan buruk bisa membuat Anda kehilangan hal-hal yang lebih baik di luar sana.

5. Libatkan Pihak Ketiga yang Netral

Mintalah pendapat dari orang lain yang tidak terlibat secara emosional. Perspektif objektif sering membuka cara pandang baru.

6. Catat dan Evaluasi Keputusan Masa Lalu

Dengan menuliskan keputusan dan alasan di baliknya, Anda bisa lebih jernih saat mengevaluasi dan tidak terjebak dalam justifikasi emosional.

Sunk Cost Fallacy dalam Dunia Bisnis dan Pemerintahan

1. Mega Proyek Pemerintah

Banyak proyek infrastruktur yang jelas-jelas boros atau salah sasaran tetap diteruskan demi “tidak membuang uang rakyat yang sudah keluar.”

2. Perusahaan Teknologi

Beberapa perusahaan besar terus mempertahankan produk yang tidak laku karena sudah keluar biaya riset dan promosi besar-besaran.

3. Militer dan Perang

Beberapa konflik berkepanjangan terus dibiayai karena “sudah mengorbankan banyak sumber daya,” padahal tidak ada prospek kemenangan jelas.

Relevansi Sunk Cost Fallacy di Era Modern

Di era digital dan cepat seperti sekarang, sunk cost fallacy menjadi semakin berbahaya:

  • Startup bisa membakar dana investor demi mempertahankan ide yang tidak valid.
  • Individu bisa terus mengejar mimpi yang sudah tidak relevan, hanya karena takut “memulai dari nol.”
  • Konsumen terus berlangganan layanan yang tidak digunakan hanya karena “sayang sudah bayar setahun.”

Kesimpulan

Sunk Cost Fallacy adalah jebakan psikologis yang membuat kita terus mempertahankan keputusan buruk hanya karena sudah berinvestasi banyak di masa lalu. Padahal, keputusan bijak seharusnya berdasarkan nilai saat ini dan prospek masa depan, bukan masa lalu yang sudah tak bisa diubah.

Menghindari sunk cost fallacy bukan berarti menyerah—melainkan tanda bahwa Anda bijak dalam memilih mana yang layak diperjuangkan, dan mana yang harus dilepaskan.

Leave a Comment

Scroll to Top