Pasar saham Indonesia sedang berada pada persimpangan penting. Setelah beberapa bulan terakhir mengalami volatilitas signifikan, pergerakan indeks dan harga saham kini menjadi sorotan, bukan hanya dari sisi ekonomi dan fundamental perusahaan, tetapi juga dari perspektif politik yang kerap memengaruhi psikologi pasar.
Menurut Alfatur Devaki, founder Invesnesia, pendekatan untuk membaca arah pasar saham saat ini tidak cukup hanya bertumpu pada analisis ekonomi makro, laporan keuangan, atau kondisi global semata. Faktor politik dalam negeri, khususnya agenda dan keberlangsungan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, akan menjadi variabel penting yang menentukan sentimen investor.
Pasar Saham Harus Positif Selama Prabowo Menjabat
Alfatur menilai, selama masa jabatan Prabowo, pergerakan pasar saham secara keseluruhan wajib bergerak positif. Alasannya sederhana: jika pasar saham lesu atau bahkan merosot secara signifikan, hal ini berpotensi mencoreng citra politik Prabowo, terutama di mata pemilih kelas menengah dan kalangan investor.
Sentimen negatif dari pasar akan menjadi beban politik, apalagi di tengah ekspektasi publik terhadap proyek-proyek besar dan inisiatif ekonomi baru yang digagas pemerintah. Salah satunya adalah Danantara, yang diluncurkan atau diinisiasi di era pemerintahan Prabowo. Proyek ini membawa ekspektasi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga kegagalan pasar untuk merespons positif dapat menjadi bumerang politik.
Kinerja Ekonomi dan Periode Kedua
Bagi Alfatur, jika Prabowo memiliki rencana untuk mencalonkan diri kembali pada Pemilu 2029, menjaga momentum positif di pasar saham bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan. Pasar yang sehat akan memperkuat narasi keberhasilan ekonomi pemerintah. Sebaliknya, pasar yang stagnan atau menurun akan menjadi amunisi politik bagi pihak oposisi.
Dalam logika politik, pertumbuhan ekonomi yang positif akan tercermin pada kinerja pasar modal, yang pada gilirannya memperkuat persepsi stabilitas dan kompetensi pemerintahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika berbagai instrumen kebijakan—baik fiskal maupun moneter—akan diarahkan untuk menjaga tren positif pasar hingga akhir periode pertama.
Fokus pada Saham Bank BUMN
Dari seluruh sektor yang ada di pasar modal, saham-saham bank milik negara (Himbara) seperti BBRI, BMRI, BBNI, dan BBTN akan menjadi barometer penting. Saat ini, secara year-to-date (YTD), kinerja saham-saham ini telah mengalami penurunan signifikan. Namun, Alfatur justru melihat peluang di sini.
Jika pemerintah mampu menggerakkan roda ekonomi secara konsisten, mendorong penyaluran kredit, dan meningkatkan daya beli masyarakat, maka kinerja bank-bank BUMN akan membaik. Efeknya akan langsung tercermin pada pergerakan harga saham, yang bisa menjadi indikator keberhasilan ekonomi era Prabowo.
Alfatur menekankan, target realistisnya adalah memastikan bahwa harga saham BUMN besar berada di atas level saat Prabowo resmi menjabat pada 20 Oktober 2024. Hal ini akan menjadi simbol bahwa kebijakan pemerintah berhasil memberikan dampak positif, setidaknya dari perspektif pasar modal.
Momentum Buy the Dip dengan Sudut Pandang Politik
Meski kondisi pasar saham kerap naik-turun, Alfatur percaya bahwa volatilitas justru membuka peluang bagi investor jangka menengah-panjang. Dengan asumsi pemerintah akan mengupayakan pertumbuhan pasar demi kepentingan politik dan elektoral, setiap penurunan harga—terutama di saham-saham BUMN—dapat dimanfaatkan sebagai momentum buy the dip.
Namun, strategi ini tetap memerlukan disiplin dan selektivitas. Investor disarankan fokus pada emiten dengan fundamental kuat, kapitalisasi besar, dan memiliki posisi strategis dalam agenda pembangunan nasional.
Kesimpulan
Pandangan Alfatur Devaki menawarkan perspektif yang jarang disentuh oleh analis konvensional: bahwa arah pasar saham Indonesia lima tahun ke depan akan sangat terkait dengan kalkulasi politik Presiden Prabowo Subianto.
Jika Prabowo ingin memastikan kemenangan di periode kedua, maka menjaga kinerja ekonomi—dan pada akhirnya menjaga pasar saham tetap positif—adalah langkah strategis yang tak bisa ditawar. Dalam skenario ini, saham-saham bank BUMN berpotensi menjadi primadona, sekaligus cerminan sukses atau gagalnya strategi ekonomi pemerintah.
Dengan pemahaman ini, investor tidak hanya melihat angka dan grafik, tetapi juga membaca arah angin politik sebagai salah satu indikator penting dalam pengambilan keputusan investasi.




