Secara resmi, pemerintah mengklaim kemiskinan di Indonesia terus menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan pada Maret 2024 turun menjadi 9,36% dari total penduduk. Angka ini sering dijadikan bukti keberhasilan pembangunan.
Namun, angka tidak selalu menceritakan seluruh kisah. Di balik statistik yang tampak membaik, kelas menengah-bawah di perkotaan menghadapi tekanan ekonomi yang kian berat. Mereka secara administratif tidak tergolong miskin, tetapi kehidupan sehari-hari diwarnai upah stagnan, biaya hidup yang meroket, pekerjaan tak pasti, dan bantuan sosial yang tidak tepat sasaran. Fenomena ini dikenal sebagai kemiskinan senyap.
Kisah Sunarti: Bertahan di Atas Garis Kemiskinan
Di sebuah gang sempit di Jakarta Timur, aroma kue basah baru matang menyambut pagi. Sunarti, 38 tahun, tersenyum ramah kepada pembeli sambil menyerahkan plastik berisi kue lapis. Di balik senyumnya, ada garis lelah yang tak bisa disembunyikan.
Setiap hari, ia bangun pukul tiga dini hari untuk membuat adonan, sementara suaminya menyiapkan gerobak. Mereka menjual kue keliling hingga siang, berharap cukup untuk membayar sewa rumah, listrik, dan kebutuhan anak.
Pendapatan keluarga ini sekitar Rp 3 juta per bulan—sedikit di atas garis kemiskinan versi BPS. Tapi realitanya, uang itu selalu habis sebelum bulan berakhir. Ketika harga tepung naik, Sunarti harus mengurangi porsi makan keluarga demi tetap bisa berjualan.
Upah yang Tak Mengejar Biaya Hidup
Data BPS Februari 2025 menunjukkan upah nominal rata-rata pekerja Indonesia Rp 3,09 juta per bulan, hanya naik tipis 1,78% dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan ini nyaris setara dengan inflasi umum, sehingga upah riil nyaris tidak bergerak.
Sementara itu, biaya hidup layak di kota besar untuk keluarga kecil mencapai Rp 14–15 juta per bulan. Lonjakan biaya pada sektor vital bahkan lebih tinggi dari inflasi umum:
- Pendidikan: +5,8%
- Kesehatan: +4,9%
Bagi keluarga seperti Sunarti, ini berarti harus memilih antara membayar uang sekolah anak atau membayar tagihan listrik tepat waktu.
Kisah Sulistiawati: Hidup di Ujung Tali
Sulistiawati, 42 tahun, bekerja sebagai tukang cuci dan setrika di rumah-rumah komplek. Ia mengurus empat anak di rumah petak sempit dan lembap. Penghasilannya jauh di bawah UMP, dan satu-satunya bantuan sosial yang ia terima adalah subsidi iuran BPJS Kesehatan.
“Kadang saya berharap sakit, supaya bisa pakai kartu BPJS itu. Tapi kalau sakit, saya nggak bisa kerja. Kalau nggak kerja, nggak ada uang makan,” ujarnya sambil tertawa getir.
Kisahnya mencerminkan jutaan pekerja informal di kota besar: tanpa kontrak, tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian penghasilan.
PHK Meningkat, Pekerjaan Tak Pasti
Tekanan ekonomi diperparah oleh gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada Februari 2025, PHK tercatat 15.285 pekerja, tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Walau persentase pengangguran turun, jumlah pengangguran absolut masih 7,28 juta orang. Banyak yang akhirnya beralih ke pekerjaan informal dengan pendapatan yang lebih rendah dan tanpa perlindungan.
Bagi keluarga seperti Sunarti dan Sulistiawati, kehilangan pekerjaan formal berarti terjebak dalam lingkaran pekerjaan serabutan yang upahnya jauh dari layak.
Kelas Menengah yang Menyusut

Dalam periode 2019–2024, sekitar 9,48 juta orang dari kelompok kelas menengah turun menjadi rentan miskin atau miskin.
Data BPS 2024:
- Kelas menengah: 17,1% penduduk
- Kelompok rentan miskin: 24,2% penduduk
Artinya, semakin sedikit orang yang bisa naik kelas, dan semakin banyak yang hidup di tepi jurang kemiskinan. Mobilitas sosial—kemampuan generasi untuk hidup lebih baik dari orang tuanya—semakin sulit dicapai.
Bansos yang Tidak Tepat Sasaran
Pemerintah menjalankan program bantuan sosial seperti PKH, Kartu Sembako, dan BLT. Namun, banyak warga miskin kota yang tidak pernah mendapatkannya. Penyebabnya:
- Data kemiskinan yang usang
- Standar penentuan yang berbeda-beda antar kementerian
- Garis kemiskinan yang tidak mencerminkan biaya hidup riil
Akibatnya, bantuan jatuh ke tangan yang salah, termasuk pegawai BUMN atau orang dengan saldo rekening di atas Rp 50 juta. Sementara itu, pekerja informal berpenghasilan di bawah UMP justru tidak terdata.
Sunarti pernah mencoba mendaftar bansos, namun ditolak. “Katanya saya nggak masuk data. Padahal tetangga saya yang rumahnya bagus malah dapat,” ujarnya.
Wajah Kemiskinan di Balik Data

Kondisi ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Di Kebumen, Jawa Tengah, Miftahus Surur bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya. Meski hidup serba kekurangan, data BPS menunjukkan ia berada di atas garis kemiskinan. Lurah setempat sudah mengusulkannya sebagai penerima bansos, namun tak pernah lolos verifikasi.
Kisah serupa dialami keluarga asal Kebumen lainnya, Mundakir dan istrinya Siti. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan namun hanya menerima bantuan pangan non-tunai sekali, pada tahun 2021. Mereka kerja lebih 12 jam sehari dan hanya menghasilkan pendapatan Rp1 juta per bulan dan harus berhemat untuk memenuhi kebutuhan mereka dan tiga anak mereka. Ini berarti keluarga Mundakir berada jauh di bawah garis kemiskinan, tetapi tidak selalu dapat bantuan sosial.

Ratmi, seorang lansia sebatang kara di Jakarta, bahkan tidak pernah mendapat bantuan sama sekali hanya karena KTP-nya masih beralamat di Pemalang, Jawa Tengah—meski sudah puluhan tahun tinggal di ibu kota.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa kesenjangan data kependudukan menjadi penghalang utama penyaluran bantuan. Kader Dasa Wisma, RT, dan lurah setempat sudah berupaya mengusulkan, tetapi sistem verifikasi berbasis data pusat membuat bantuan tidak sampai.
Kontradiksi Angka Kemiskinan
Perbedaan metodologi juga memunculkan jurang besar antara angka resmi BPS dan estimasi Bank Dunia.
-
BPS: kemiskinan nasional Maret 2024 berada di 9,36% penduduk.
-
Bank Dunia: 68,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, jika dihitung dengan paritas daya beli yang memperhitungkan inflasi dan kebutuhan hidup layak.
Metodologi BPS dinilai tidak banyak berubah dalam 50 tahun terakhir, sementara metode Bank Dunia dianggap lebih mendekati realitas, terutama di perkotaan yang biaya hidupnya tinggi.
Menuju Data yang Terintegrasi
Pemerintah menyadari masalah ini dan berencana memperbarui metodologi penghitungan garis kemiskinan. Mulai 2025, penyaluran bansos akan menggunakan data tunggal yang diperbarui setiap tiga bulan, hasil integrasi Kementerian Sosial, BPS, dan pemerintah daerah.
Namun, pembaruan data hanya akan berarti jika mampu menangkap realita kemiskinan yang sebenarnya—termasuk mereka yang hidup di “atas kertas” sebagai tidak miskin, tetapi sehari-hari berjuang untuk makan dan bertahan hidup.
Ancaman Sosial yang Nyata
Jika kondisi ini dibiarkan:
- Konsumsi domestik melemah, menghambat pertumbuhan ekonomi.
- Ketimpangan melebar, memicu potensi instabilitas sosial.
- Generasi muda terjebak dalam siklus kemiskinan antar generasi.
Harapan dan Jalan Keluar
Solusi tidak cukup hanya menaikkan angka bantuan atau memotret kemiskinan untuk laporan. Diperlukan langkah strategis:
- Perbaiki data kemiskinan secara nasional, berbasis biaya hidup riil perkotaan.
- Naikkan upah riil khususnya di sektor padat karya.
- Perluas jaminan sosial untuk kelas menengah rentan.
- Tekan biaya hidup sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan.
- Formalisasi sektor informal dengan akses modal, pelatihan, dan perlindungan hukum.
Penutup: Lebih dari Sekadar Angka
Sunarti, Sulistiawati, Miftahus Surur, Mundakir, dan Ratmi hanyalah lima wajah dari jutaan warga yang berjuang setiap hari untuk bertahan hidup. Mereka tidak miskin di atas kertas, tetapi juga jauh dari sejahtera.
Selama kebijakan publik masih berpijak pada garis kemiskinan administratif yang sempit, kemiskinan senyap akan terus berlangsung—menjadi luka sosial yang tak terlihat, namun semakin dalam.
Menyuarakan realitas ini bukan hanya soal empati, tapi juga tanggung jawab bersama. Karena ketika suara mereka tenggelam, kita semua sedang membiarkan masa depan bangsa ini ikut terkubur.
Referensi
-
Kompas TV. (2025, 13 Agustus). Potret Senyap Kemiskinan Kota. Laporan berita televisi.
-
Kompas TV. (2025, 10 Agustus). Wajah Kemiskinan di Balik Data. Laporan berita televisi.




